Cak Nun meminta dilagukan kembali Syi’ir Tanpo Wathon seperti di awal acara. Begitu sudah dinyanyikan beberapa baris, Cak Nun bertanya, “Wis ngerti masalahe po durung? Pas nadanya naik tadi kuat nggak? Setelah itu melanjutkan lagu pakai nada tinggi atau kembali ke rendah?”
“Menek ki ojo dhuwur-dhuwur, sak isone wae. Ini bukan kesalahan, ini karena belum ngerti aja. Saiki digoleki, dicari yang pas.”
“Menek ki ojo dhuwur-dhuwur, sak isone wae. Ini bukan kesalahan, ini karena belum ngerti aja. Saiki digoleki, dicari yang pas.”
Cak Nun dan Mbak Via mengajak jamaah untuk belajar lagi melagukan Syi’ir Tanpo Wathon dengan jangkauan nada yang pas. Jamaah semuanya diajak untuk mengukur jangkauan nada masing-masing.
“Hidup itu kan kudu di-stel, kuat ta gak. Nomor dua, perlu dipertimbangkan juga apakah jamaah pas sama suaraku. Di-stel suara terbanyak itu yang bagaimana.”
Sambil menerangkan dan latihan mengepaskan nada, Cak Nun memberikan contoh dengan lagu Ande-Ande Lumut.
“Apakah nembang itu nggak ada hubungannya dengan agama? Ada! Kalau kamu nembang dalam rangka mensyukuri nikmat dari Allah, apa saja asalkan bersyukur, itu baik di hadapan Allah.”
“Ndhek kene urusan masak mung urusan bawang karo jahe, nek ndhek Jowo kan ono petis, kemiri, tumbar, macem-macem, bayarane gak sumbut meneh. Maka bersyukur, ya. Bisa nggak, masak di rumah majikan, di pabrik, di mana saja, itu merupakan peristiwa agama? Karena di situlah kita bersyukur.”
“Saiki ngaji. Ngaji Quran iku kudu ngono kae ta? Coba sekarang ulangi ngaji, cukup audzubillah, bismillah, kemudian ditambah satu ayat. Supaya bulan depan kalau pengajian lagi lebih indah. Gunane bapak yo ngono kuwi.”
“Nek kuate sak meter, yo sak meter wae. Ra usah terikat lagu koyo sing dipelajari. Sing ngongkon kowe nganggo lagu sing koyo ngono iku malaikat sing endi? Ngaji itu nomor satu yang penting adalah ikhlas. Nomor dua, kalau bisa enak didengar.”
“Baca Quran di pengajian itu nggak harus qiro’ah, boleh tilawah biasa. Jangan dipersulit hidup ini. Besok harus lebih santai, distel suaranya. Kekurangan itu tidak mengurangi pahala di depan Allah. Kekurangan itu tidak mengurangi berkahmu dan anak-cucu di hadapan Allah.”
Empat Janji Allah
Wa may yattaqillaha yaj’al lahu makhrojaa,wayarzuqhu min haitsu laa yahtasiib. Wa may yatawakkal ‘alallahi fahuwa hasbuhu.Innallaha balighu amrihi, Qod ja’alallahu likulli syaii-in qodroo.
“Kalau pas kamu punya masalah, baca Ath-Thalaq dua ayat itu thok (ayat 2 dan 3). Ada empat janji Allah di situ. Kalau kamu bertakwa, ada dua janji. Kalau kamu bertawakkal, ada dua janji lagi. Takwa itu apa? Tawakkal itu apa?”
Takwa adalah mempertimbangkan segala sesuatu berdasar pandangan Allah kepada kita. Ketika kita hendak melakukan sesuatu, pertimbangannya : seneng nggak ya Allah kalau saya gini.
“Jadi kalau kamu bertakwa sama Allah, Allah janji akan memberikan jalan keluar kalau kamu punya masalah, dan Allah akan memberikan rizqi di luar perhitunganmu. Ketoke gak oleh tapi oleh, ketoke gak lulus tapi lulus.”
“Tawakkal sama takwa bedanya apa? Kamu datang ke Hongkong tahu nggak majikanmu baik atau buruk? Setelah ngalami sekian lama baru tahu to? Untuk hal yang kamu tidak tahu, siapa yang kamu serahi? Itu namanya tawakkal. Kalau ibu atau saudara Sampean di Surabaya, misalnya, bikin warung dan jualan, sudah kerja keras, masakannya enak, tempatnya bersih, dan seterusnya, bisa njamin nggak berapa yang beli? Bisa njamin nggak bakal laris atau nggak?”
“Karena kamu nggak bisa njamin, maka kamu bertawakkal. Kita mewakilkan kepada Allah apa-apa yang kita tidak mampu, asalkan kita sudah bekerja keras.”
Dua janji Allah kalau kita bertawakkal kepada-Nya :
1. Allah menghitung semua urusan kita.
“Anakmu butuh piro ngge sekolah, Allah ikut menghitung. Kamu punya cita-cita bikin rumah sama suamimu, Allah mendukung. Allah jadi akuntanmu, jadi majikanmu, jadi penghitung urusanmu.”
2. Kalau kita punya cita-cita, insyaAllah sama Gusti Allah diwujudkan.